Foto: detikfoodFoto: detikfood

Jakarta – Dalam upacara pernikahan Betawi, roti buaya selalu hadir sebagai bagian kelengkapan. Roti tawar berbentuk sepasang buaya ini mengandung makna kesetiaan. Karena itu pula roti ini disimpan oleh pengantin. Tidak dimakan apalagi dibagikan pada tamu.

Buaya sendiri telah menjadi hewan yang dianggap suci oleh orang Betawi sejak zaman leluhur. Menurut JJ Rizal, ahli sejarah yang berdarah Betawi, seekor buaya hanya mempunyai satu pasangan seumur hidupnya. Atas kepercayaan inilah, orang Betawi menggunakan buaya sebagai perlambang kesetiaan. Dalam perikahan diharapkan agar pasangan saling setia.

“Sayang, pernikahan adat Betawi dulu dan sekarang jauh berbeda. Dulu, roti buaya sengaja dibuat sekeras mungkin, semakin keras roti, semakin baik kualitas roti tersebut. Tujuan sebenarnya dari pembuatan roti buaya ini bukan untuk dimakan,” kata JJ Rizal.

Menurut pria lulusan Universitas Indonesia ini, roti buaya akan dipajang di tengah-tengah ruangan hingga acara pernikahan selesai. Setelah itu, roti tersebut akan ditaruh di atas lemari pakaian di kamar pengantin. Karena roti buaya tersebut keras dan tidak punya rasa, roti ini pun akan tahan lama.

Kualitas roti buaya yang tahan lama dilihat dari keras tidaknya roti. Roti buaya akan dibiarkan hingga hancur dan berbelatung di atas lemari.

“Inilah yang menjadi perlambang bahwa dua roti buaya simbol suami istri tersebut hanya bisa dipisahkan oleh maut, oleh raga yang sudah berbelatung.Nah, zaman sekarang filosofi seperti ini sudah mulai ditinggalkan. Jika kalian memesan roti buaya, yang membuat malah balik bertanya, mau isi cokelat atau keju. Padahal hal ini sudah menyalahi adat sebenarnya,” tambah pendiri Kominitas Bambu ini.

Tak hanya isian, roti buaya zaman sekarang teksturnya jauh lebih lembut, juga ditambah dekorasi tempelan cokelat atau kismis. Padahal dulu roti buaya sangat berat seperti batu dan polos begitu saja.

Roti buaya di pernikahan Betawi zaman sekarang akan dibagi-bagikan kepada para tamu apabila acara pernikahan sudah selesai. Sedangkan kedua mempelai tidak membawa roti tersebut ke kamar tidur mereka. Para tamu yang datang juga akan menikmatinya dengan mencelupkannya ke dalam sirop.

“Hal ini sudah keliru, tapi tetap dibiarkan. Simbol kesetiaan itu sebenarnya tidak boleh sama sekali dimakan, mengingat buaya adalah hewan suci. Hingga sekarang, masih ada beberapa orang yang nganca, atau menganca, yaitu memberikan sesajen kepada leluhur buaya di kali atau sungai di Jakarta,” sambung Rizal.

Sumber : https://food.detik.com/
Previous reading
10 Cafe Unik di Jakarta Ini Bikin Kamu Betah Nongkrong
Next reading
Wisata Kuliner Jakarta